Memahami Prinsip Mengikuti Jalan Beragama Para as-Salafush-Shaalih (Para Pendahulu yang Shaalih)
Makna Sunnah
Wahai saudaraku… Kita banyak menjumpai,
dalam percakapan sehari-hari, istilah Sunnah Nabi atau Sunnah Rasul.
Tahukah kita apakah maknanya?
Untuk memahaminya, marilah kita pahami
arti kata Sunnah itu sendiri terlebih dahulu. Sunnah adalah sebuah kata
yang sudah dikenal oleh bangsa ‘Arab dalam bahasa mereka. Ketika
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan kata ini
dalam sabdanya, para sahabat pun langsung memahami apa yang dimaksudkan
oleh beliau, sebagaimana dalam hadits berikut,
أوصيكم بتقوى الله، والسمع والطاعة وإن تأمر
عليكم عبد، فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا، فعليكم بسنتي وسنة
الخلفاء الراشدين المهديين، عضوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور،
فإن كل بدعة ضلالة
“Aku mewasiatkan agar kalian bertakwa
kepada Allah, mendengar dan ta’at (pada pemimpin) walaupun yang
memimpin kalian adalah seorang budak. Sungguh barangsiapa yang berumur
panjang di antara kalian akan melihat perbedaan yang banyak. Maka, wajib
bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku dan Sunnah al-Khulafaa’
ar-Raasyidiin yang diberi petunjuk (oleh Allah). Gigitlah (Sunnah itu)
dengan gigi geraham. Janganlah kalian mengadakan perkara-perkara baru
(dalam agama), karena sungguh setiap bid’ah itu adalah kesesatan.”
Makna kata Sunnah adalah jalan yang ditempuh. Dengan demikian, makna Sunnah Nabi adalah jalan beragama Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sunnah Nabi adalah agama Islam itu sendiri.
Apakah shalat wajib lima waktu adalah
Sunnah Nabi? Na’am. Apakah shalat tahajjud adalah Sunnah Nabi? Na’am.
Apakah puasa Ramadhaan adalah Sunnah Nabi? Na’am. Apakah puasa Senin dan
Kamis adalah Sunnah Nabi? Na’am. Apakah mengeluarkan zakat atas emas
dan perak adalah Sunnah Nabi? Na’am. Apakah thawaaf dengan meletakkan
Ka’bah di samping kiri kita dan bukan di kanan kita adalah Sunnah Nabi?
Na’am. Apakah meyakini bahwa Allah ada di atas ‘Arsy adalah Sunnah Nabi?
Na’am. Apakah memakai jimat adalah Sunnah Nabi? Tidak, itu adalah
sunnahnya kaum musyrikin. Apakah berkeyakinan bahwa sapi itu hewan
sakral adalah Sunnah Nabi? Tidak, itu adalah sunnahnya kaum musyrikin.
Namun, setelah Islam datang dan kemudian
para fuqahaa’ merumuskan ilmu fiqh, para ulamaa’ ini lalu meminjam kata
Sunnah dan menjadikannya sebagai istilah untuk amalan yang jika
dikerjakan akan mendatangkan pahala, sedangkan jika ditinggalkan tidak
akan mendatangkan dosa.
Maka, kesimpulannya adalah saat ini kita
memiliki dua makna untuk kata Sunnah, yaitu makna bahasa dan makna
istilah dalam ilmu fiqh. Jika kita mendengar kata tersebut terucap di
hadapan kita, atau kita menemukannya di dalam bacaan kita, maka kita
harus melihat konteks untuk membedakan mana dari dua makna tersebut yang
dimaksudkan.
Hal ini sama halnya ketika kita mendengar
kata kijang. Sejak jaman kerajaan dahulu, kita telah mengenal kata ini
sebagai nama untuk sebuah hewan. Namun, sebuah perusahaan otomotif
lalu meminjam kata tersebut untuk dijadikan merk bagi mobilnya, sehingga
jika saat ini kita mendengar kata kijang, kita harus melihat konteks
untuk membedakan mana makna yang hendak dituju oleh si pengucap.
Ketika kata Sunnah diucapkan bergandengan
dengan kata Nabi atau Rasul sehingga menjadi Sunnah Nabi atau Sunnah
Rasul, maka maknanya adalah makna yang pertama, yaitu makna bahasa.
Namun, jika kata Sunnah dalam Sunnah Nabi dimaknai dengan makna istilah
dalam fiqh, maka mengapa kita tidak pernah mendengar istilah Wajib Nabi,
Mubah Nabi, Makruh Nabi, dan Haram Nabi? Ini adalah indikasi yang
menunjukkan bahwa makna kata Sunnah Nabi adalah makna bahasanya, yaitu
jalan beragama Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan bermakna amalan yang jika dikerjakan akan mendatangkan pahala dan jika ditinggalkan tidak akan mendatangkan dosa.
Kemudian, ketahuilah bahwa Sunnah Nabi
itu juga mencakup amal ibadah yang wajib. Dalam hadits yang telah kami
bawakan di atas, Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فعليكم بسنتي
“Maka wajib bagi kalian untuk mengikuti Sunnahku.”
Jika memang Sunnah Nabi itu mencakup amalan yang sunnah saja dan tidak mencakup amalan yang wajib, maka mengapa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan kita untuk mengikuti Sunnah beliau?
Memahami makna Ahlus-Sunnah dan Sunniy
Nah, setelah kita memahami makna Sunnah
Nabi, maka ketahuilah bahwa setiap orang yang berusaha untuk mengikuti
Sunnah Nabi itu disebut sebagai Ahlus-Sunnah atau Sunniy. Ketika
seseorang hendak dinisbatkan kepada sesuatu, maka sudah merupakan
kebiasaan orang-orang ‘Arab dalam bahasa mereka untuk menambahkan kata
“Ahl” sebelum sesuatu tersebut, atau menambahkan huruf ي kepada sesuatu
tersebut sebagai tanda penisbatan. Dalam kasus kita saat ini, orang yang
berusaha mengikuti Sunnah maka kita nisbatkan dia dengan Sunnah,
sehingga muncul istilah Ahlus-Sunnah dan Sunniy.
Namun, pahamilah bahwa Ahlus-Sunnah dan
Sunniy itu adalah sifat, bukan nama. Seseorang dikatakan Ahlus-Sunnah
atau Sunniy jika dia memiliki sifat mengikuti Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Seseorang bisa jadi mengaku bahwa dirinya adalah Ahlus-Sunnah atau Sunniy, namun jika dia tidak mau mengikuti Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
maka kita katakan bahwa pengakuannya itu hanyalah klaim belaka.
Seseorang yang tidak pernah mengenal apa itu istilah Ahlus-Sunnah dan
apa itu istilah Sunniy (karena dia tidak paham bahasa ‘Arab, misalnya),
akan tetapi dia selalu berusaha mengikuti Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
maka pada hakikatnya dia itu berada di atas kebenaran. Secara realita,
dia adalah seorang Ahlus-Sunnah atau Sunniy. Siapakah yang tidak pernah
memanggil diri mereka sebagai Ahlus-Sunnah atau Sunniy, namun mereka
berada di atas kebenaran? Para sahabat radhiyallaahu ‘anhum.
Penisbatan seseorang kepada sesuatu
dengan menggunakan kata “Ahl” atau menambahkan huruf ي sebagai tanda
penisbatan itu adalah sesuatu yang sudah menjadi kaidah baku
dalam bahasa ‘Arab, sebagaimana kita biasa menyebut orang yang menguasai
sekali ilmu kimia sebagai ahli kimia. Seseorang bisa jadi mengaku bahwa
dirinya adalah ahli kimia, namun jika dia ternyata tidak menguasai ilmu
tersebut, maka pengakuannya hanyalah klaim belaka. Seseorang yang tidak
pernah mengenal apa itu istilah ahli kimia (karena dia orang bule,
misalnya), akan tetapi dia menguasai sekali ilmu kimia, maka kita tetap
akan memanggilnya sebagai ahli kimia. Mengapa? Karena memang begitulah
kebiasaan kita dalam berbahasa.
Maka, demikian pula untuk istilah
Ahlus-Sunnah dan Sunniy. Seseorang yang tinggal di luar negeri nun jauh
di sana, jauh sekali dari Indonesia dan tidak pernah mengenal ulamaa’
atau kiyai di Indonesia, akan tetapi dia selalu berusaha mengikuti
Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam beragama, maka
kita katakan bahwa dia adalah Ahlus-Sunnah atau Sunniy, walaupun
ternyata dia tidak mengidentifikasi dirinya dengan sebutan itu karena
tidak paham bahasa ‘Arab, misalnya.
Oleh karena itu, kita simpulkan bahwa Ahlus-Sunnah dan Sunniy adalah sifat, bukan nama.
Makna Salaf
Sebagaimana kata Sunnah, kata Salaf pun
juga telah dikenal dan dipakai oleh orang-orang ‘Arab dalam bahasa
mereka. Kata ini pernah dipakai oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika berkata kepada putri beliau, Faathimah radhiyallaahu ‘anhaa,
ونعم السلف أنا لك
“Sebaik-baik pendahulumu adalah aku.”
Lalu, apa makna Salaf? Maknanya adalah
pendahulu. Semua orang yang hidup sebelum atau lebih awal dari kita
adalah salaf kita. Maka, yang termasuk salaf kita adalah orang tua kita,
orang tua teman sebaya kita, kakek-nenek kita, dan seterusnya hingga
para tab’it-tabi’in, tabi’in, sahabat, Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, hingga sampai pada Nabi Adam ‘alaihis-salaam.
Ini juga mencakup orang-orang kafir seperti Fir’aun, Abu Jahl, dll.
Mengapa? Karena mereka adalah orang-orang yang mendahului kita dalam
masalah umur. Singkatnya, makna Salaf secara bahasa adalah pendahulu.
Akan tetapi, jika digandengkan dengan
kata shaalih sehingga menjadi as-Salafush-Shaalih (yang bermakna para
pendahulu yang shaalih), maka tidak ada orang kafir lagi yang tercakup
di dalamnya.
Prinsip mengikuti jalan beragama para as-Salafush-Shaalih adalah prinsip yang haq
Selain kewajiban untuk berpegang teguh pada Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dalam meniti agama ini, para ulamaa’ juga menyebutkan dalam kitab-kitab
mereka adanya kewajiban untuk mengikuti jalan beragama para
as-Salafush-Shaalih, yaitu jalan beragama Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, tabi’in, dan tabi’in-tabi’in.
Setiap dalil dari Kitaabullaah dan Hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
harus dipahami dan ditafsiri sesuai dengan pemahaman generasi awal umat
Islam ini. Mereka adalah orang-orang yang lebih berilmu dari kita dan
lebih paham agama ini daripada kita. Ketika para sahabat membaca
al-Qur’an, langsung terbayang pada mereka bagaimana ayat itu turun,
bagaimana pengalamannya dan perjuangannya dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat ayat itu diwahyukan, bagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengamalkan ayat itu dalam kehidupan beliau sehari-hari, bagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan ayat itu dalam majelis beliau di Masjid Nabawi. Na’am, itulah bobot ilmu dan pemahaman mereka radhiyallaahu ‘anhum terhadap
agama ini. Adapun kita, arti dari ayat al-Qur’an yang sedang kita baca
itu saja seringkali kita tidak tahu. Maka, ini menunjukkan bahwa kita
harus mengikuti pemahaman mereka dalam mengamalkan agama ini.
Mari kita ambil contoh untuk memperjelas bagaimana menerapkan prinsip ini. Simak hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berikut,
إنّ لله تبارك وتعالى ملائكة سيّارة فضلا
يتبّعون مجالس الذكر فإذا وجدوا مجلسا فيه ذكر قعدوا معهم وحف بعضهم بعضا
بأجنحتهم حتى يملئوا ما بينهم وبين السماء الدنيا فإذا تفرقوا عرجوا وصعدوا
إلى السماء…إلخ
“Sungguh Allah Tabaaraka wa Ta’aalaa
memiliki sejumlah malaikat yang (tugasnya) mencari majelis dzikir. Jika
mereka menemukan majelis yang terdapat dzikir di dalamnya, maka mereka
duduk dengan orang-orang di majelis itu dan mengelilingi orang-orang
tersebut dengan sayap-sayap mereka hingga memenuhi ruang antara mereka
dan langit dunia. Ketika orang-orang tersebut berpisah (ketika
majelisnya selesai), maka para malaikat ini naik ke langit…(hingga akhir
hadits).”
Kita lihat bahwa istilah majelis dzikir disebutkan dalam hadits tersebut. Apa makna majelis dzikir yang dimaksudkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dalam sabdanya ini? Apakah maknanya adalah majelis yang di dalamnya
orang-orang melakukan dzikir dengan keras secara berjama’ah dan
dikomando? Cara mengetahui maknanya adalah kita lihat bagaimana para
sahabat memahami hadits tersebut. Kita lihat riwayat dari para tabi’in
dan tabi’it-tabi’in tentang makna majelis dzikir tersebut. Kita tidak
serta-merta memaknai majelis dzikir yang disebutkan dalam hadits
tersebut dengan makna yang terlintas di otak kita tanpa dalil, karena
itu berarti kita telah menganggap bahwa apa yang dimaksudkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dalam sabdanya itu adalah makna yang kita pikirkan. Ternyata, setelah
menelaah riwayat dari para as-Salafush-Shaalih, kita mengetahui bahwa
makna majelis dzikir adalah majelis ilmu, yang mengajarkan al-Qur’an,
hadits, dan berbagai cabang ilmu syar’iy. Inilah makna majelis dzikir
yang dipahami oleh generasi awal umat Islam, maka hendaknya kita
memahami istilah majelis dzikir sebagai mereka memahami istilah ini.
Prinsip mengikuti jalan beragama para as-Salafush-Shaalih = Prinsip mengikuti Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
Prinsip mengikuti manhaj atau jalan
beragama para as-Salafush-Shaalih itu bukanlah sesuatu yang baru. Kita
saat ini hidup di abad ke-15 Hijriyyah, namun seruan untuk mengikuti
jalan beragama as-Salafush-Shaalih telah banyak diserukan oleh para
ulamaa’ di jaman dahulu. Berikut kami bawakan screenshot dari
kitab الفتح الرباني والفيض الرحماني karya Syaikh ‘Abdul-Qaadir
al-Jailaaniy rahimahullaah, yang hidup di abad ke-5 sampai 6
Hijriyyah. Kami rasa sebagian besar kaum muslimin di Indonesia pasti
pernah mendengar atau bahkan familiar dengan nama beliau.
Mari kita bahas apa yang beliau tulis
dalam kitab tersebut. Kami menggarisbawahi dua kalimat penting dalam
gambar di atas, sebagai berikut.
Kalimat pertama:
عليكم بالاتباع من غير ابتداع، عليكم بمذهب السلف الصالح
“Wajib bagi kalian untuk ittibaa’ (mengikuti tuntunan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam)
dan jangan melakukan ibtidaa’ (berbuat bid’ah). Wajib bagi kalian untuk
menempuh jalan beragama para as-Salafush-Shaalih (para pendahulu yang
shaalih).”
Kalimat kedua (yang beliau ucapkan setelah menyebutkan dua kesalahan dalam beragama):
بل اتباعا لسنة رسول الله صلى الله عليه وسلم
“(Hendaknya kalian) ittibaa’ pada Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.”
Kami juga menggarisbawahi judul kitab di
sudut kiri bawah untuk memastikan bahwa halaman ini berasal
dari kitab الفتح الرباني والفيض الرحماني.
Apa faidah yang kita dapat dari tulisan beliau tersebut?
- Syaikh ‘Abdul-Qaadir al-Jailaaniy rahimahullaah dengan lafazh yang jelas menyuruh kita untuk mengikuti jalan beragama as-Salafush-Shaalih (para pendahulu yang shaalih), yaitu Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, taabi’in, dan taabi’it-taabi’iin.
- Beliau, dengan lafazh yang sama jelasnya, juga menyuruh kita untuk mengikuti Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Na’am, prinsip mengikuti manhaj as-Salafush-Shaalih (jalan beragama para pendahulu yang shaalih) dan prinsip mengikuti Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu adalah sama dan identik, walaupun redaksionalnya berbeda.
- Beliau, juga dengan lafazh yang jelas, melarang kita untuk melakukan bid’ah. Perhatikan bahwa beliau memutlakkan larangan untuk berbuat bid’ah dalam tulisan beliau tersebut. Beliau tidak merinci bahwa ada bid’ah hasanah dan ada bid’ah sayyi’ah. Seandainya beliau mengakui adanya pembagian bid’ah menjadi hasanah dan sayyi’ah, maka tentu beliau akan menambahkan keterangan dalam tulisan di atas bahwa yang beliau larang adalah bid’ah yang sayyi’ah. Namun, beliau memutlakkan pelarangan untuk berbuat bid’ah, sebagaimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memutlakkan lafazh bid’ah dalam sabda beliau, وكل بدعة ضلالة، وكل ضلالة في النار. “Setiap bid’ah itu sesat, dan setiap kesesatan itu di neraka.” Jika kata “setiap” yang pertama dimaknai “sebagian” (karena menurut sebagian orang hanya sebagian bid’ah saja yang sesat, sedangkan sisanya adalah hasanah), maka kata “setiap” yang kedua juga dapat dimaknai “sebagian”, sehingga bermakna sebagian kesesatan saja yang berada di neraka. Lalu kesesatan macam apa yang letaknya di surga?
Memahami makna Salafiy
Setelah kita memahami bahwa prinsip
mengikuti jalan beragama as-Salafush-Shaalih adalah jalan yang haq, dan
bahwa prinsip ini sama dan identik dengan prinsip mengikuti Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
maka sebagaimana merupakan kebiasaan dalam bahasa orang ‘Arab
bahwa orang yang berusaha berpegang teguh pada Sunnah Nabi itu disebut
sebagai Sunniy, maka orang yang berusaha mengikuti jalan beragama para
as-Salafush-Shaalih itu disebut sebagai Salafiy. Ini adalah sebuah
kelaziman dalam bahasa ‘Arab yang tidak bisa dihindari, sebagaimana kita
tidak bisa menghindari penyebutan ahli matematika kepada orang yang
sangat menguasai sekali ilmu matematika. Kesimpulannya, Sunniy dan
Salafiy adalah sinonim.
Sebagaimana Sunniy adalah sifat dan bukan
sekedar nama, maka demikian pula Salafiy. Seseorang bisa jadi mengaku
bahwa dirinya adalah Salafiy, namun jika dia tidak mau mengikuti
pemahaman para sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in (yaitu, para
as-Salafush-Shaalih) dalam beragama, maka kita katakan bahwa
pengakuannya itu hanyalah klaim belaka. Seseorang yang tidak pernah
mengenal apa itu istilah Salafiy, akan tetapi dia selalu berusaha
mengikuti jalan beragamanya para sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in,
maka pada hakikatnya dia itu berada di atas kebenaran. Secara realita,
dia adalah seorang Salafiy, walaupun semasa hidupnya dia tidak pernah
mengenal istilah Salafiy.
Pemahaman yang salah terhadap istilah Salafiy
Namun, sebagian orang memaknai istilah
Salafiy sebagai sebuah nama kelompok. Mereka berpikir bahwa Salafiy itu
adalah kelompok, sehingga dalam otak mereka akan muncul pemikiran
seperti, “Si Fulaan sudah berubah sekarang. Dia masuk Salafiy.” Atau,
“Si Fulaan sekarang sudah keluar dari Salafiy.” Atau, “Kelompok Salafiy
itu eksklusif sekali.” Pemikiran seperti ini adalah salah.
Ilustrasinya adalah sebagai berikut. Kita
akan langsung memikul nama Muslim ketika kita mengakui kebenaran
Tauhid, mengakui kenabian Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
dan mengucapkan dua kalimat syahadat, walaupun kita tidak pernah
mengenal sama sekali Muslim lain di sekitar kita. Maka, demikian pula,
kita akan langsung memikul istilah Salafiy ketika kita berusaha
mengikuti Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan
pemahaman para sahabat, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in (yaitu, para
as-Salafush-Shaalih), walaupun kita tidak pernah mengenal sama sekali
orang yang beragama seperti demikian di sekitar kita. Salafiy adalah
sifat, bukan nama.
Kemudian, sebagian orang juga memaknai
istilah Salafiy dengan konotasi negatif, yaitu sebagai nama untuk
kelompok yang ekstrim dalam beragama, yang suka mengkafir-kafirkan orang
lain dan membid’ah-bid’ahkan orang lain. Ini karena ada orang-orang
yang mengklaim diri mereka sendiri sebagai Salafiy, lalu melakukan
perbuatan-perbuatan tersebut. Padahal, jika mereka berbuat ekstrim, suka
mengkafirkan dan membid’ahkan orang lain secara sembarangan, maka pada
hakikatnya mereka tidak sedang meneladani para as-Salafush-Shaalih.
Mengkaitkan Salafiy dengan orang-orang
yang ekstrim ini, yang jelas-jelas menyelisihi bagaimana Nabi dan para
sahabatnya bersikap, sama saja dengan mengkaitkan Islam dengan para
teroris. Lihatlah bagaimana para teroris, karena mereka menyebut diri
mereka sebagai Muslim, akhirnya membuat orang-orang kafir menjadi
antipati terhadap Islam. Ini karena para teroris itu tidak memahami
Islam yang benar itu seperti apa, dan karena orang-orang kafir itu
mengambil sikap mereka untuk menilai Islam (yaitu, mereka menilai Islam
berdasarkan perbuatan orang yang tidak paham Islam dan tidak mengamalkan
ajaran Islam yang sebenarnya). Maka, demikian pula, lihatlah bagaimana
orang-orang yang ekstrim itu, karena mereka menyebut diri mereka sebagai
Salafiy, akhirnya membuat kaum muslimin yang awam menjadi antipati
terhadap prinsip mengikuti jalan beragama para as-Salafush-Shaalih. Ini
karena orang-orang yang ekstrim itu tidak mengamalkan makna Salafiy yang
benar, dan karena kaum muslimin yang awam itu mengambil sikap
mereka untuk menilai istilah Salafiy (yaitu, mereka menilai istilah
Salafiy berdasarkan perbuatan orang yang tidak paham prinsip mengikuti
jalan beragama para as-Salafush-Shaalih dan tidak mengamalkan prinsip
ini dengan baik).
Sebagaimana anda berhak untuk menjelaskan
Islam dan membuktikan bebasnya Islam dari kesesatan para teroris, maka
kami juga berhak untuk menjelaskan prinsip mengikuti jalan beragama para
as-Salafush-Shaalih dan membuktikan bebasnya istilah Salafiy dari
eksklusifitas orang-orang yang berkelompok-kelompok dan kesesatan
orang-orang yang ekstrim.
Andy Octavian Latief
ilmfirst.com